Pernikahan adalah jalan nan mulia. Bagi saya, meniti jalan pernikahan bukan hal yang susah tapi juga tidak mudah. Sering kita dengar motivasi pernikahan, hal-hal baik tentang pernikahan, kebahagiaan yang berlipat-lipat tentang pernikahan. Hingga kita lupa penyeimbang untuk itu semua. Bahwa akan ada badai yang pasti terjadi. Sebab pernikahan kita, bukan pernikahan Cinderella. Pernikahan lebih dari sekadar penyatuan dua jiwa. Jiwa yang mungkin tak akan seiya sekata dalam suatu hal.
Akhir-akhir ini semakin marak berita tentang nikah muda. Bahkan Instagram pun pernah ramai dengan hastag #nikahmuda. Namun di sisi lain, kabar perceraian dari pernikahan yang baru seumur jagung pun turut membuat saya berdecak. Apalagi ketika berita perceraian itu salah satunya dialami oleh teman saya sendiri.
Saya menikah di usia yang baru menginjak 20 tahun. Beberapa teman menyebutnya, nikah muda. Ah, apakah nikah muda dilihat dari usia? Ada yang lebih muda dari saya. Bahkan mbah saya sendiri baru belasan tahun sudah menikah. Alhamdulillah pernikahan beliau tetap terjaga meski kini terpisah oleh dunia yang berbeda. Namun sepertinya dulu beliau tidak disebut sebagai bagian dari anggota nikah muda, hehehe.
Awal saya menikah ada yang mengkhawatirkan tentang usia saya saat itu. Ya, “the worst” itu harus dipikirkan baik-baik. Dengan usia saya yang 20 tahun, dianggap belum matang untuk menikah. Saya sendiri sebenarnya tidak mengelak. Kondisi mood yang seringkali memburuk, dipancing sedikit mudah marah. Ah warna-warni rumah tangga. Alhamdulillah dikaruniai pasangan yang mau mengerti dan sabar menghadapi istri.
Saya merenungi setiap perjalanan rumah tangga ini. Andaikata di antara kami tidak ada yang bersikap dewasa barangkali kepingan puzzle yang baru saja disusun ini sudah porak-poranda. Yap, dewasa. Nikah boleh saja di usia muda tapi perlu kedewasaan sikap.
Kedewasaan sikap membuat kita mampu menyuburkan tanah gersang, menumbuhkan benih, berbunga mekar mewangi hingga berbuah manis.
Ada beberapa tips sederhana dari sedikit pengalaman yang baru saya tapaki di kehidupan rumah tangga ini. Yang bagi saya sendiri pun masih tahap belajar.
Tips Merawat Cinta:
Ucapkanlah terlebih dahulu kalimat sayang. Tanpa menunggu pasangan.
Saat ada masalah biasanya ia langsung memeluk saya. Pada akhirnya kami sadar, kami saling membutuhkan. Mendengar detak jantungnya terasa damai. Ada hangat yang menyelusupi diri yang beku kaku. Pun saat kami merasa dalam keadaan normal, sebuah pelukan yang tanpa menunggu siapa dulu yang mendarat.
Sebelum saya berangkat kuliah, sebelum suami berangkat kerja, usai shalat berjamaah atau entah kapan pun sebuah kecup darinya, sebuah kecup saya, membuat ketentraman jiwa kejernihan dalam berpikir.
Kami membiasakan diri untuk minimal sekali setiap makan saling menyuapi. Hal tersebut merupakan salah satu kebiasaan guru kami. Dan ternyata saat kami mencoba, yeah!!! Meski kadang lagi cemberut lha kok disuapi jadi merasakan suatu kehadiran yang tak terelakan.
Setiap orang membutuhkan ruang. Bagi wanita mungkin ia senang curhat panjang lebar kepada suaminya. Namun bagi seorang pria, tak jarang ia ingin menyendiri dalam menghadapi suatu masalah. Pun istri, meski sudah curhat panjang lebar ia juga butuh me time. Alhamdulillah suami menyadari hal itu pada saya sehingga biasanya meminta saya untuk ke luar rumah meski sekadar memberi seblak.
Bagian ini saya masih sangat dasar dalam tahap belajar. Masalah sebenarnya adalah kebutuhan biologis, tulis Abdurrahman bin Abdullah al-Qar’awi dalam buku “Suami Istri dalam Rumah Mungil Penuh Bahagia”. Penyebab masalah hubungan suami-istri yang sebenarnya adalah masalah hubungan intim keduanya, hubungan di atas ranjang, hanya saja sering dibungkus oleh klaim masalah-masalah lain karena tidak enak menyebut sebab sebenarnya secara terbuka, lanjutnya. Oleh karenanya bagi wanita, sebagai ikhtiar selain menjaga kerapian tampilan luar juga berusaha menjaga organ tubuh wanita lainnya salah satunya dengan resik V.