Istri Bekerja, Bolehkah Suami Utak-Atik Gajinya?

Jumat, 1 Maret 2019 | 19:13 WIB Cahaya Resik
Istri Bekerja, Bolehkah Suami Utak-Atik Gajinya?

Wanita bekerja dan mencari uang di masa sekarang ini sangat mudah ditemukan. Bahkan, di kota-kota besar tidak sedikit juga lho para wanita karir yang memiliki penghasilan lebih tinggi dari pada para lelaki. Katanya sih ini bagian dari emansipasi wanita. Apalagi, bagi mereka yang masih single tentu butuh penghasilan untuk membiayai hidup maupun keluarga.

Lalu, bagaimana jika para wanita karir ini menikah dan berumah tangga? Mengenai persoalan gaji dan penghasilan, bolehkan suami mengutak-atik penghasilan istrinya itu? Permasalahan penghasilan sering kali memicu gesekan di kehidupan rumah tangga. Tanpa memiliki ilmu agama yang kuat, bisa saja masalah penghasilan merusak keharmonisan rumah tangga.

Nafkah merupakan kewajiban Suami

Bila wanita sudah berkeluarga, maka kebutuhan dan keperluan rumah tangga termasuk anak-anak menjadi tanggung jawab sang suami. Ini merupakan salah satu bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

"Kaum lelaki itu adalah pemimpin kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain (kaum wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. [an Nisaa`/4 : 34].

Seorang suami tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan pendapatan istri. Apalagi jika ada klausul yang menjadi syarat ketika akad nikah. Misalnya, calon istri yang juga wanita karier itu memberi syarat dalam akad nikah jika penghasilannya setelah menikah tak boleh diganggu gugat. Maka sang suami harus menghormatinya.

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (QS al-Baqarah [2]:188).

Dikutip dari laman almanhaj.or.id, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdur Rahman al Jibrin pernah ditanya tentang hukum suami yang mengambil uang (harta) milik isterinya, untuk digabungkan dengan uangnya (suami).

Menjawab pertanyaan seperti ini, Syaikh al Jibrin mengatakan, tidak disangsikan lagi, istri lebih berhak dengan mahar dan harta yang ia miliki, baik melalui usaha yang ia lakukan, hibah, warisan, dan lain sebagainya. Itu merupakan hartanya, dan menjadi miliknya. Dia yang paling berhak untuk melakukan apa saja dengan hartanya itu, tanpa ada campur tangan pihak lainnya.

Boleh dimanfaatkan dengan syarat

Uang atau harta isteri adalah milik pribadinya, sehingga perlakuannya sama seperti halnya kepunyaan orang lain, tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan keridaan dan kerelaannya. Bila ia telah memberikan keridaan bagi suaminya pada sebagian yang ia miliki atau semuanya, maka boleh saja dan menjadi halal bagi suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 "Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. [an Nisaa`/4 : 4].

Idealnya, antara suami dan istri terjalin kasih-sayang dan empati timbal-balik. Hubungan mesra mereka, sepantasnya tidak tergantung pada uang. Karena, harga kemesraan dan keutuhan keluarga tidak bisa diukur dengan uang. Kerjasama dan saling mendukung antara suami dan isteri harus tetap terjaga.

Apabila seorang suami berkecukupan, seyogyanya ia tidak mengambil milik istri. Begitu pun sebaliknya, istri yang berpenghasilan, sementara suaminya masih dalam kondisi ekonomi yang kurang, disyariatkan baginya untuk membantu suami, memberikan bantuan apa yang ia mampu untuk menopang kehidupan keluarga dengan jiwa yang rida.

Betapa indahnya, apabila seorang istri bisa melakukan sebagaimana yang diperbuat Zainab, istri Ibnu Mas’ud, dan bertindak seperti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.

Al Bukhari meriwayatkan hadits Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihnya, ia berkata:

 "Dari Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu anhu : … Zainab, isteri Ibnu Mas’ud datang meminta izin untuk bertemu. Ada yang memberitahu: “Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab,” beliau bertanya,”Zainab yang mana?” Maka ada yang menjawab: “(Zainab) isteri Ibnu Mas’ud,” beliau menjawab,”Baiklah. Izinkanlah dirinya,” maka ia (Zainab) berkata: “Wahai, Nabi Allah. Hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku mempunyai perhiasan dan ingin bersedekah. Namun Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku,” Nabi bersabda,”Ibnu Mas’ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu.” Dalam lafazh lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam menambahkan:

 "Benar, ia mendapatkan dua pahala, pahala menjalin tali kekerabatan dan pahala sedekah.”

Dalam masalah sedekah kepada suami, terdapat sebuah teladan monumental telah dipahat oleh Ummul Mukminin Khadijah, yaitu beliau membantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jiwa, raga dan benda. Sungguh sebuah peranan yang besar seorang isteri bagi suaminya.

Oleh karena itu, sangat penting diperhatikan oleh para wanita bahwa untuk menjadi istri yang baik dapat mengelola uang dan harta milik pribadinya secara bijak, membelanjakan untuk keperluan yang bermanfaat  bagi dirinya di dunia dan akhirat, serta tidak berbuat boros yang bisa mendatangkan kerugian baginya.

ARTIKEL TERKAIT